Berawal dari keingintahuan salah satu teman, sodara (teileeee.. sodara :D) Sengkiq Isme mengenai hari Asyura sbg peringatan terbunuhnya imam Al-Husein beserta keluarga dan kaum muslim di Padang Karbala. Orang Syiah Rafidhah melakukan ritual disetiap hari Asyura dengan cara memukuli-mukuli diri baik dg tangan maupun benda tajam, merobek-robek baju, meratap dengan mencakar-cakar atau menjambak-jambak rambut mereka sepanjang jalan menuju padang Karbala.
Banyak orang-orang pada umumnya menganggap tradisi ini adalah tradisi orang-orang smua orang Syi'ah yang terkenal sebagai kelompok pecinta Ahlul Bayt. Akan tetapi, sekali lagi, anggapan tersebut adalah generalisasi saudara-saudara. Sama seperti orang menggeneralisasi orang Minang itu adalah orang padang (Minang itu nama suku, Padang itu nama ibukota di Sumatera Barat. Dan asal usul orang Padang sebenarnya bukanlah orang Minang. tapi orang pesisir). Intinya, manusia begitu mudah menggeneralisasi suatu hal yang dikarenakan kekurangtahuannya, gampang mengambil kesimpulan atau dikarenakan trauma terhadap suatu hal (sama seperti cewek yang patah hati dengan cowoknya atau cowok yang patah hati dengan ceweknya, langsung aja menggeneralisir pasangan mereka dengan perkataan, "huh! semua cowok/cewek memang sama aja.")
Kembali ke cerita. Jadi, Syi'ah itu terbagi menjadi 22 golongan (sama seperti Sunni yang juga terbagi menjadi beberapa golongan. Ada Sunni Selanjutnya golongan Sunni terpecah lagi menjadi 4 mazhab, yaitu : Maliki, Syafi'i, Hanafi dan Hanbali. Dan di Indonesia sendiri yang memakai madzhab Syafi'i ini, terpecah lagi menjadi NU dan Muhammadiyah. Dan setiap madzhab pasti mengalami terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Akan tetapi golongan-golongan ini ada yang masih tetap sejalan dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dengan berpegang atas Al-Quran dan hadist tetapi ada juga golongan-golongan dari madzhab ini yang menyimpang dari syariat islam beserta rukun islam dan rukun iman bahkan ada pula yang ingkar terhadap Quran dan hadist yang shahih.
Pada perkembangannya, kaum Syiah terbagi menjadi 22 golongan (silahkan lihat tentang Syi'ah dan golongan Syiah yang ada disini
http://kucingtengil.blogspot.com/2012/03/syiah-kedudukan-mereka-di-dalam-islam.html). Salah satu dari golongan tersebut adalah Syi'ah Rafidhah. Dan Syi'ah golongan inilah yang mempunyai tradisi memukul-mukul diri mereka atau menyakiti diri mereka baik dengan tangan maupun dengan pedang. Alasannya, agar mereka merasakan penderitaan Imam Husein dan keluarga dan umat muslim yang dibantai di Padang Karbala.
AKAN TETAPI... ada satu hal yang mungkin sedikit diketahui oleh ummat islam termasuk dari kaum Syiah sendiri. Bahwa, kaum Syi'ah Rafidhah melakukan ritual tersebut berasal kebiasaan kaum syi'ah Kufah (yang mungkin sebagai cikal bakal kaum syiah Rafidhah), sebagai bentuk penyesalan dan tanda tobat mereka karena tindakan pengkhianatan mereka terhadap Imam Husein.
1. Pengangkatan Yazidz bin Muawiyah menjadi Kalifah Pengganti Muawiyah bin Abu Sufyan
Yazidz adalah anak dari Muawiyah yang ia angkat sebagai khalifah pengganti dirinya. Pengangkatan Yazidz secara sepihak oleh Muawiyah, berarti telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh Dewan Syura (sama dg MPR kita) yang dibentuk dijaman khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan hukum syura, pemilihan menurut hasil permusyawaratan terbanyak dan khalifah yang terpilih dari hasil suara terbanyak ini akan dikukuhkan oleh Majlis Permusyawaratan Ummat Islam (sama dg DPR kita) dan jika khalifah tersebut berakhir masa kepemimpinannya, maka ia harus menyerahkan kembali pangkat kekhalifahan tersebut ke tangan Dewan Syura yang nanti akan mengadakan pemilihan khalifah baru berdasarkan suara ummat. Sistem ini yang berlaku sejak di zaman al-Khulafaurrasyidin, akan tetapi dewan ditugaskan untuk mengemban tugas tersebut baru terbentuk di jaman kekhalifahan Umar. Sistem tersebut menyerupai aturan pemerintahan Republik (jumhuriyyah) di zaman kita ini. Akan tetapi, ditangan Muawiyah pangkat Khalifah menjadi pusaka turun-temurun, maka daulat Islam pun berubah sifatnya menjadi daulat yang bersifat kerajaan (monarchie).
Pada tahun 56 H. (676 M.) Mu’awiyah mengangkat puteranya Yazid menjadi putera Mahkota yang akan langsung menggantikan dirinya kalau ia mati. Dengan perbuatannya ini berarti Mu’awiyah telah merubah undang-undang khilafah yang semula dipilih oleh Majlis Permusyawaratan Ummat Islam menjadi turun temurun. Dan diapun telah melanggar janjinya dengan Hasan bin Ali, yaitu janji yang telah diikrarkannya, bahwa pangkat Khalifah sepeninggalnya diserahkan kembali kepada Permusyawaratan Ummat Islam
Akan tetapi, tentu saja cara Muawiyah tersebut tidak diterima oleh beberapa petinggi-petinggi dan ummat islam lainnya. Walau diantara mereka adalah pendukung Muawiyah, akan tetapi banyak diantara mereka tidak menyukai Yazidz. Walaupun Muawiyah mendapatkan kekuasaan dengan cara taktik yang kurang terpuji (dengan makar terhadap Ali dikala Ali menjadi khalifah yang sah, berusaha membunuh Hasan dengan racun melalui perantara istri Hasan karena dikala itu Hasan banyak mendapat dukungan dari ummat dan menjadi saingan terberat Muawiyah), akan tetapi, Muawiyah mempunyai sikap terpuji lainnya seperti adil terhadap ummat, menjaga ketenangan dan ketentraman ummat baik dari dalam maupun dari luar, memperluas kekuasaan islam, dan lainnya. Sedangkan Yazidz, dikenal bukanlah seorang yang ahli untuk menduduki kursi Kholifah seperti ayahnya, karena ia dinilai mempunyai tabi’at yang kurang baik untuk menjadi pemimpin seperti ayahnya. Oleh karena itu pemerintahannya tidak disukai oleh para sahabat besar dan terutama, Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair.
2. Pengkhianatan Syi'ah di Kufah Terhadap Ali bin Abi Thalib dan Hasan Bin Ali
Kufah, adalah salah satu daerah yang terdapat di Iraq. Para pendukung Ali adalah dari kelompok Syiah. Dan kelompok Syiah sebagian besar pendukung berasal dari Iraq terutama penduduk Syiah di Kufah dan penduduk Syiah di Bashrah.
Penduduk Syiah Kufa, walaupun mereka menyatakan diri sebagai pecinta ahlul bayt, akan tetapi sikap dan perbuatan mereka bertolak belakang dengan ucapan mereka (munafik). Hal ini sudah berkali-kali dibuktikan sikap munafik mereka ketika Ali pergi berperang bersama mereka ke Syam, setelah berhasil meredam fitnah Kaum Khawarij (salah satu sekte pecahan syiah Ali sendiri yang malah mengkafirkan Ali bin Abi Thalib), para Syiah Kufah malah meninggalkan beliau dan kaum Syiah lainnya yang sudah berkumpul berperang bersama Ali. padahal sebelumnya mereka telah berjanji untuk membantunya dan pergi bersamanya.
Selain itu, ketika Al Hasan Radhiyallahu anhu dibaiat menjadi khalifah, para penduduk Syiah di Kufah meminta Al Hasan untuk memerangi Muawiyah dan penduduk Syam karena mereka berkali-kali diserang oleh Muawiyah. Padahal waktu itu Al Hasan berkeinginan menyatukan kaum muslimin saat itu, karena beliau faham sekali tentang kelakuan orang-orang syiah di Iraq terutama di Kufah ini yang munafik dan tidak bisa menempati janji kepada ayahnya. Akan tetapi sebagai khalifah, beliau berusaha adil. Ketika beliau menyetujui mereka (orang-orang syiah di Iraq) dan beliau mengirimkan pasukannya serta mengirim Qais bin Ubadah di bagian terdepan untuk memimpin dua belas ribu tentaranya, dan singgah di Maskan, ketika Al Hasan sedang berada di Al Mada’in tiba-tiba salah seorang penduduk Iraq berteriak bahwa Qais telah terbunuh.
Mulailah terjadi kekacauan di dalam pasukan, para maka orang-orang syiah Kufah kembali para tabiat mereka yang asli (berkhianat), mereka tidak sabar dan mulai menyerang kemah Al Hasan serta merampas barang-barangnya, bahkan mereka sampai melepas karpet yang ada dibawahnya, mereka menikamnya dan melukainya. Dari sinilah salah seorang penduduk Syiah Iraq, Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi merencanakan sesuatu yang jahat, yaitu mengikat Al Hasan bin Ali dan menyerahkan kepadanya, karena ketamakannya dalam harta dan kedudukan. Pamannya yang bernama Sa’ad bin Mas’ud Ats Tsaqafi datang, dia adalah salah seorang wali dari Mada’in dari kelompok Ali. Dia (Mukhtar bin Abi Ubaid) bertanya kepadanya, “Apakah engkau menginginkan harta dan kedudukan?
Sa'ad berkata, “Apakah itu?”
Mas'ud Menjawab,”Al Hasan kamu ikat lalu kamu serahkan kepada Muawiyah”
Kemudian pamannya berkata “ Allah akan melaknatmu, "
Anak putrinya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia memperhatikannya lalu mengatakan,
"kamu adalah sejelek-jelek manusia”
Maka Al Hasan radhiyallahu anhu sendiri berkata
“Aku Memandang Muawiyah lebih baik terhadapku dibanding orang-orang yang mengaku mendukungku (Syiahku), mereka malah ingin membunuhku, mengambil hartaku, demi Allah saya dapat meminta dari Muawiyah untuk menjaga keluargaku dan melindungi keselamatan seluruh keluargaku, dan semua itu lebih baik daripada mereka membunuhku sehingga keluarga dan keturunanku menjadi punah. Demi Allah, jikalau aku berperang dengan Muawiyah niscaya mereka akan menyeret leherku dan menganjurkan untuk berdamai, demi Allah aku tetap mulia dengan melakukan perdamaian dengan Muawiyah dan itu lebih baik dibanding ia memerangiku dan aku menjadi tahanannya”
Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan utk berdamai dgn Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya demi utk menghindarkan jurang perpecahan yg lbh dalam lagi dikalangan umat Islam antara pendukung Ahlul bayt dengan pendukung Muawiyah, dgn beberapa persyaratan perjanjian.
Beberapa isi dari perjanjian itu adalah
"Pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya menjaga persatuan umat menyejahterakannya melindungi kepentingannya tidak membalas dendam kepada anak-anak yg orang tuanya gugur didalam berperang dgn Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar “Amirul Mukminin” sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib."
Muawiyah menyetujuinya. Akan tetapi selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut dengan melakukan usaha pembunuhan terhadap Hasan dengan racun melalui isteri Hasan yang bernama Ja'dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindî, dan Mu'wiyah yang memerintahkan kepadanya, dan bila ia berhasil membunuh Hasan ia akan dapat 100.000 dirham dan akan mengawinkannya dengan Yazidz.
Tatkala Hasan meninggal, ia mengirim uang tersebut dengan surat:
‘Sesungguhnya kami mencintai nyawa Yazîd, kalau tidak maka tentu akan kami penuhi janji dan mengawinkan engkau dengannya’. {Mas’ûdî, Murûj adz-Dzahab, jilid 2, hlm. 50}
Dan pelanggaran lainnya dilakukan oleh Muawiyah adalah mengangkat putranya Yazidz sebagai putra mahkota setelah Hasan meninggal. telah merubah undang-undang khilafah yang semula dipilih oleh Majlis Permusyawaratan Ummat Islam menjadi anarki (dinasti) sehingga fungsi Dewan Syuro pun dihapuskan.
Atas perdamaian yang dilakukan Al Hasan dan Muawiyah, maka membuat Syiah Kufah membenci terhadap Al Hasan bahkan keturunannya.Alasannya adalah karena Al Hasan berdamai dengan Muawiyah dan menyatukan kaum muslimin saat itu, sehingga tercelalah keturunannya dan tidak layaklah mereka menjadi imam mereka, itulah hakikat tabiat sejati seorang penghianat yang tidak pernah menginginkan perdaimaian dan persatuan diantara kaum muslimin. namun mereka berusaha menutup-nutupinya. Maka mereka (Syiah berasal dari kufah membuat pecahan Syiah bernama syiah rafidhoh imamiyah) mengeluarkan keturunan Al Hasan dari silsilah para Imam ma’shum versi mereka yang mereka mengangkat Imam-Imam mereka itu bahkan kedudukan para imam mereka diatas kedudukan para Nabi dan malaikat terdekat dengan Allah (tulisan Khumaini dalam, al hukumah islamiyah hal 52), walaupun demikian agar tidak terbongkar kebencian mereka ini mereka tetap mencantumkan Al Hasan dalam deretan Imam mereka.
3. Perburuan Yazidz Terhadap Al Husein, Pengkhianatan Syiah Kufah dan Peristiwa Karbala
Hasan meninggal dunia sebelum Mu’awiyah meninggal. Maka ketika itu Mu’awiyah memberikan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid. Tatkala Mu’awiyah meninggal, maka Yazid memegang perintah, dan Husain enggan memba’iatnya.
Yazid memerintahkan gubernur Madinah agar mengambil baiat dari Imam Husein untuknya dan bila membangkang, maka Imam Husein harus dibunuh. Gubernur Madinah menyampaikan perintah Yazid kepada Imam Husein as, dan Imam Husein meminta waktu semalam untuk mempertimbangkan persoalan tersebut, namun lantaran baiat dengan Yazid dan mensetujui khilafahnya dipandang oleh Imam Husein adalah tidak menguntungkan Islam dan jiwanya terancam, beliau terpaksa meninggalkan Madinah menuju Mekkah dan tinggal di Mekkah yang merupakan tempat yang relatif aman sebagai rumah Allah, dan pada tanggal 3 Sya'ban, beliau tiba di mekkah.
Berita sampainya Imam Husin di Makkah ini tersebar ke berbagai daerah. Masyarakat Irak yang tidak setuju dan tidak puas dengan pemerintahan Muawiyah dan Yazid, terutama penduduk Kufah menulis banyak surat kepada Imam Husein dan mengundang beliau ke Irak. Mereka menyatakan dukungan terhadap Husein dan ketidaksukaan mereka terhadap peemrintahan Umayah dan yazid. Para penduduk Kufah ini meminta agar Imam Husein datang ke Kufah untuk di bai’at sebagai khalifah.
Meskipun surat yang dikirim dari Kufah tidak ada henti-hentinya, namun Imam Husin tetap tidak mau pergi ke Kufah. Sebab beliau masih ingat betul pengkhianatan yang dilakukan orang-orang Kufah terhadap ayahnya dan saudaranya, Hasan.
Setelah melalui berbagai surat gagal, maka orang-orang Kufah tersebut mengutus beberapa orang guna menemui Imam Husin, meminta agar Imam Husin mau datang ke Kufah untuk dibai’at sebagai khalifah.
Sebagai orang yang arif lagi bijaksana, walaupun sudah berkali-kali dikhianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, beliau akhirnya mengutus Muslim bin Agil (sepupunya) ke Kufah guna membuktikan apa yang sudah mereka sampaikan.
Sesampainya Muslim bin Agil di Kufah, puluhan ribu penduduk Kufah menyambutnya serta membai’atnya sebagai wakil Imam Husin. Muslim bin Agil segera mengirim surat kepada Imam Husin memberitahukan mengenai keadaan dan apa yang terjadi di Kufah, serta mengharap agar Imam Husin segera berangkat ke Kufah. Setelah menerima surat tersebut, Imam Husin segera memutuskan untuk segera pergi ke Kufah dan rencana tersebut beliau sampaikan kepada famili-familinya serta sahabat-sahabatnya dan banyak para sahabat yang melarang Husein untuk pergi ke Kufah. Di antara mereka adalah Ibnu Umar, Abdulloh bin Ja’far dan lainnya. Bahkan Abdulloh bin Umar terus mendesak kepada Husain agar tetap tinggal di Mekkah dan tidak keluar.
Abdullah bin Abbas (sepupu Imam Ali) begitu mendengar rencana Imam Husin tersebut segera mendatangi Imam Husin dan menasehati agar Imam Husin menggagalkan rencananya. Sebab Ibnu Abbas tahu benar watak orang-orang yang selalu mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait tersebut. Namun dengan dilandasi baik sangka, Husain menyelisihi permusyawarahan mereka dan keluar, lalu Ibnu Umar berkata kepadanya,
“Aku menitipkanmu kepada Alloh dari pembunuhan!"
Begitu Husain Radhiyallahu ‘anhu keluar, ia menemui Farozdaq di jalan yang berkata kepadanya,
“Berhati-hatilah engkau, mereka bersamamu namun pedang-pedang mereka bersama Bani Umayyah. Mereka adalah Syi’ah yang mengirim surat kepadamu, dan mereka menginginkanmu untuk keluar (ke tempat mereka), tetapi hati-hati mereka tidak bersamamu. Secara hakiki mereka mencintaimu, akan tetapi pedang-pedang mereka terhunus bersama Bani Umayyah!”
Dengan harapan dapat menyelamatkan Negara dari orang-orang yang tidak layak memimpin negara, maka Imam Husin terpaksa menolak nasihat para sahabat dan keluarganya yang lain dan tetap berangkat ke Kufah beserta keluarga dan beberapa kaum muslimin lainnya (bbrp org dr kelompok Syiah dan kaum Anshar).
Namun apa yang terjadi di Kufah?
Muslim bin Agil akhirnya ditangkap dan dibunuh oleh Gubernur Kufah (Ubaidillah bin Ziyad). Sedang orang-orang Kufah yang telah menyatakan dirinya sebagai Syi’ahnya Imam Husin dan telah membai’at Muslim bin Agil sebagai wakil Imam Husin tersebut, telah berkhianat. Mereka berubah haluan, mereka terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Ubaidillah bin Ziyad dan berbalik menjadi pengikut Yazid. Bahkan mereka menjadi tentara yang dikirim oleh Ubaidillah bin Ziyad waktu menyerang dan membunuh Imam Husin beserta keluarganya di Karbala.
Pasukan Yazid bersama pasukan Syiah Kufah telah mengepung Imam Husein dan pasukannya di sebuah negeri bernama Karbala dan mereka tidak mengijinkan Imam Husein as dan para sahabatnya melanjutkan perjalanan ke Kufah. Kemudian datanglah intruksi dari Yazid , bahwa apabila Husein menyerah, maka ambillah baiat darinya dan kirim dia ke sisiku, agar aku ambil keputusan tentangnya , namun bila ia tidak mau menyerah, maka perangilah."
Imam Husein tidak menyerahkan dirinya kepada kehinaan dan tidak bersedia kompromi dengan pemerintahan tirani Yazid dan beliau memilih berperang dengan pasukannnya yang sangat kecil dan sedikit jumlahnya dan bertahan di hadapan pasukan Yazid yang begitu banyak jumlahnya. Dan dengan penuh keberanian dan keperkasaaan, beliau dan para keluarga serta sahabatnya berperang dan membunuh sejumlah musuh.
Akhirnya, beliau sendiri beserta keluarga (kecuali Ali Zainal yang kala itu ditinggal didalam tenda karena sakit bersama bibinya, siti Zainab) dan para sahabatnya menemui syahadah dan pada tanggal sepuluh 10 Muharram tahun 61 Hijriyah, beliau terbunuh dan badannya dimakamkan di Karbala sedangkan kepalanya dibawa kehadapan Yazidz dan sempat menjadi bulan-bulan oleh Yazid dan membuat pedih hati sahabat rasul yang sudah tua dan hadir disaat Yazidz menghina kepala Imam Husein. Lalu kepala Imam Husein dibawa berkeliling untuk dipamerkan kepada rakyat sebagai contoh agar tidak membangkang. Dan pada akhirnya, setelah berpindah-pindah tempat beberapa puluhan tahun, kepala Imam Husein dipindahkan ke Mesir. Dan kabarnya, tempat kepala Imam Husein dikuburkan didirikan Masjid Husein di Mesir. Imam Husein as hiudp di dunia selama 58 tahun.
Begitulah asal mula terjadinya peristiwa Karbala. Satu-satunya anak laki-laki Sayyidina Husin yang tidak mati dan selamat dari kekejaman orang-orang Syi’ah tersebut adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin yang dilindungi oleh bibinya Siti Zainab, putri Rasulullah yang dikala itu menjaga Imam Ali Zainal yang masih kecil, sehingga tidak ada kelompok dari Yazidz menyentuh Imam Ali yang berada didekapan bibi beliau. Sedangkan saudara-saudara dari Imam Ali Zainal tewas bersama Ayahandanya, Imam Husein bersama kaum Anshor dan kelompok Syiah lainnya yang setia mendampingi Ali.
Seorang ahli sejarah (tokoh Syi’ah) yang dikenal dengan sebutan AL Ya’Quubi, menerangkan dalam kitabnya sebagai berikut : Ketika Imam Ali Zainal Abidin memasuki kota kufah, beliau melihat orang-orang Syi’ah kufah menangis, beliaupun berkata kepada mereka:
“
Kalian membunuhnya tetapi kalian menangisinya. Kalianlah yang membunuhnya, lalu siapa yang membunuhnya kalau bukan kalian ? Kalianlah yang membunuhnnya.”
Itulah keterangan ulama Syi’ah, mengenai kata-kata Imam Ali Zainal Abidin dalam menanggapi tangisan orang-orang Syi’ah, atas terbunuhnya keluarga Rasulullah saw di Karbala.
4. Alasan Tangisan Syiah Rafdihah Atas Peristiwa Karbala
Selang berlalunya waktu, generasi yang datang belakangan tidak pernah memahami sebab utama ritual ini dan mengira bahwa ritual ini hanya bertujuan untuk mengungkapkan kesedihan atas kejadian yang menimpa Husein bin Ali dan ahlul bait seperti yang didengungkan oleh para ulama. Sementara itu generasi belakangan tetap meyakini bahwa ritual ini untuk mencara pahala dengan rasa cinta kepada Husein bin Ali dan mereka lupa bahwa sebenarnya ritual ini diadakan sebagai hukuman kepada diri mereka sendiri yang telah menkhianati Husein bin Ali
Tetapi bagi kalangan sejarah yang mengetahui pengkhianatan yang dilakukan oleh Syiah Kufah (syiah rafidhah) yang karena perbuatan merekalah Imam Husein terbunuh di Karbala setelah mereka sendiri yang meminta pertolongan dan dukungan kepada Imam Husein dengan mengundang beliau ke Kufah untuk di baiat tetapi kemudian berkhianat.
Mereka (syiah Rafidhah) terus bergumam, bahwa mereka tidak pernah bermaksud untuk membunuh Imam Husein dan keluarganya. Sebagai penyesalan atas pengkhianatan mereka, mereka berusaha menebusnya dengan ritual menyiksa diri mereka sebagai hukuman kepada diri mereka sendiri yang telah menkhianati Husein bin Ali. Mereka menebus dosa mereka dengan hukuman di dunia, dan berharap di akherat Allah tidak akan menghukum mereka dengan hukuman yang lebih berat.
Entah bagaimana mereka mengubah ritual ini dari hukuman berubah maknanya sehingga menjadi ibadah yang berpahala dan bahkan mensucikan Padang Karbala. Bahkan mereka mengatakan mengunjungi Padang Karbala lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada melakukan ibadah haji di Makkah
Pendapat di atas dikuatkan oleh perkataan Zainab binti Ali yang ditujukan kepada mereka :
“Wahai penduduk kufah, wahai para pengkhianat, perumpamaan kalian adalah bagaikan seorang perempuan yang mengurai benang yang sudah dipintal. Kalian hanya mempunyai kesombongan, kejahatan, kebencian dan kedustaan. Apakah kalian menangisi saudaraku? Tentu, demi Allah, maka perbanyaklah tangis dan jangan banyak tertawa, sungguh kalian telah diuji dengan kehinaan..bagaimana kalian menganggap enteng membunuh menantu nabi terakhir?"
Selain itu, dengan perbuatan ratapan dan menyakiti diri mereka atas kematian Al Husein, sudah melanggar larangan Allah, tentang diharamkannya perbuatan meratapi kemalangan, musibah dan kematian dengan cara berlebihan (memukul diri, menjerit, mencakar dll)
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah .” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Ada empat perkara diantara perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela ketuturunan (orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat. Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelium meninggal. Ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta.”
Pelanggaran lainnya dilakukan oleh mereka adalah, mereka mencela dan menghina para sahabat nabi didalam perayaan Ashura sebagai bentuk dukungan dan kecintaan mereka terhadap Ahlul Bayt. Hal ini sendiri sudah melanggar dari apa yang disabdakan oleh Rasul
Dari Abu Sa’iid Al-Khudri bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian mengimfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai (nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula separohnya"
Sumber
http://blog.re.or.id/analisa-syiah-sunni.htm
http://aslibumiayu.wordpress.com/2011/12/05/syiah-rafidhah-kesesatan-pesta-duka-hari-asyuraa/
http://esq-news.com/2009/03/10/77/muawiyyah-bin-abu-sufyan-khalifah-pertama-dinasti-umayyah.html
http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.com/2011/07/pengkhianatan-syiah-terhadap-ahlu-bait.html
http://www.alhassanain.com/indonesian/book/book/beliefs_library/fundamentals_of_Religion/general_books/semua_perlu_tahu/010.html
http://yayasan-aljawad.blogspot.com/2011/01/terbunuhnya-imam-hasan-bin-ali-bin-abi.html
http://aslibumiayu.wordpress.com/2011/12/05/ritual-asyura-orang-orang-syiah-rafidhah-yang-mengaku-sebagai-ahlul-bait-kok-seperti-ini-ya/